Dalam fotografi tradisional (film) ISO
(atau ASA) adalah indikasi seberapa sensitif film terhadap cahaya. Ini
diukur dalam angka (100, 200, 400, 800, dst). Semakin rendah angkanya,
maka semakin rendah pula sensitivitas film dan gambar yang didapat
semakin halus. Pada fotografi digital, ISO mengukur sensitivitas dari
sensor.
Ilustrasi Grafik |
Dengan menggunakan grafis sederhana
dengan gaya papan tulis, Dylan menunjukan bahwa sensor pada dasarnya
adalah sebuah kotak sensor mikroskopi yang kita kenal sebagai pixel
(piksel). Mengambil contoh piksel tunggal, ia menjelaskan dalam grafik
batang bagaimana cahaya dibaca oleh sensor, dengan memecahnya ke dalam
warna primer merah, hijau dan biru. Rasio antara ketiga warna merupakan
warna pixel akhir yang akan muncul pada gambar.
Grafik paling atas, merupakan jumlah
maksimum cahaya sensor yang dapat menerima cahaya 100%. Dengan grafik
baru, Dylan menunjukkan kepada kita bahwa ketika sensor menerima jumlah
cahaya yang lebih rendah, persentase Merah Hijau dan Biru, dibandingkan
dengan grafik sebelumnya, jauh lebih rendah sehingga menghasilkan gambar
redup. Untuk mencerahkan gambar, kamera menurunkan tingkat 100% menjadi
lebih dekat pada bagian atas nilai RGB.
Prinsip yang sama berlaku seperti pada
fotografi film – semakin rendah angkanya, maka kamera menjadi kurang
sensitif terhadap cahaya. Pengaturan ISO yang lebih tinggi umumnya
digunakan dalam situasi gelap untuk mendapatkan shutter speed yang lebih
cepat (misalnya even olahraga indoor) – namun, hal ini memunculkan
noise yang lebih banyak.
ISO 100 umumnya diterima sebagai pengaturan ‘normal’ dan akan menghasilkan gambar yang tajam (dengan sedikit noise).
Kebanyakan orang cenderung memilih mode auto di mana kamera memilih pengaturan ISO yang tepat tergantung pada kondisi saat pengambilan gambar (akan mencoba untuk tetap serendah mungkin) meskipun sebagian besar kamera memberikan pilihan untuk memilih pengaturan ISO secara manual.
Ketika kita tidak menggunakan mode auto
dan memilih ISO tertentu, maka akan melihat bahwa hal tersebut akan
membutuhkan penyesuaian aperture dan shutter speed untuk mendapatkan
exposure yang tepat. Misalnya – jika kita menaikkan ISO dari 100 ke
400, maka kita bisa memilih shutter speed yang lebih cepat dan/atau
aperture yang lebih kecil.
Ketika memilih pengaturan ISO, biasanya mengacu pada empat pertanyaan berikut:
- Cahaya – Apakah berpenerangan subyek sudah baik?
- Grain – Apakah diinginkan gambar dengan atau tanpa noise?
- Tripod – Apakah menggunakan tripod?
- Posisi Subyek – Apakah subyeknya bergerak atau stasioner?
Jika ada banyak cahaya, menginginkan
gambar dengan noise minimal, menggunakan tripod, dan subnyeknya
stasioner, biasanya akan menggunakan ISO sangat rendah.
Namun jika itu kondisinya gelap,
menginginkan gambar dengan noise, tidak menggunakan tripod dan/atau
subyeknya bergerak, mungkin perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan ISO
karena akan memungkinkan pengambilan gambar dengan shutter speed yang
lebih cepat dan menghasilkan exposure yang masih baik. Tentu saja trade off dari peningkatan dalam ISO adalah bertambahnya noise.
Contoh penggunaan ISO |
Situasi di mana kita mungkin perlu untuk meningkatkan pengaturan ISO meliputi:
- Even Olahraga Indoor – di mana subyek bergerak cepat namun memiliki cahaya yang terbatas.
- Konser – juga rendah dalam cahaya dan sering tidak diperbolehkan menggunakan flash.
- Galeri Seni, Tempat Ibadah, dll – banyak galeri dan tempat ibadah memiliki aturan yang tidak memperbolehkan penggunaan flash.
- Pesta Ulang Tahun – gambar ketika seseorang meniup lilin di sebuah ruangan gelap dapat memberikan hasil yang dramatis, tentu saja hal tersebut dilakukan tanpa menggunkaan flash. Meningkatkan ISO bisa membantu menangkap adegan tersebut.
ISO merupakan aspek penting dari
fotografi digital yang butuh pemahaman, dengan demikian kita menguasai
kamera yang kita gunakan. Cobalah dengan pengaturan yang berbeda dan
ketahui bagaimana pengaturan tersebut mempengaruhi gambar yang
dihasilkan.
No comments:
Post a Comment